9/20/12

Endorphin



“William Obstetrics, William Obstetrics, Will...” seketika aku menghentikan kegianku mencari buku diantara puluhan buku di rak ‘Obgyn’ ketika aku melihat sesosok laki-laki bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang beberapa meter dari tempat aku berdiri saat ini, tepatnya di rak tumpukan buku ‘Public Health’.

Selama beberapa detik mataku tidak berkedip memandangi angle dia yang sempurna ketika membaca buku  ‘Essentials of Public Health Communication’ sambil sesekali membenarkan posisi kacamatanya.

Endorfin sepertinya menghujamku saat itu. Seperti inikah rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama?

Aku kemudain menggelengkan kepalaku. "Fokus Re." seruku kepada diriku sendiri.

“Ah itu dia.” ucapku ketika melihat buku yang aku cari dari tadi di tumpukan paling atas. Aku berusaha menggapai buku itu, namun sayang, tubuhku terlalu mungil dan tidak bisa menggapai rak teratas itu.

Saat itulah, sebuah tangan yang tegas dan panjang menggapai buku itu

“Ini.” ucap si jangkung-berkaca mata-dan berkulit sawo matang yang aku lihat di rak Public Health tadi.

“Eh, terimakasih.” Ucapku malu sambil menerima buku dari tanganya.

“Sama-sama.” Ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat aku bersumpah tidak akan melupakan senyum seperti itu.

“Suka bidang obgyn?" tanya laki-laki itu.

Aku mengangguk. "Kamu suka Public Helath?" tanyaku terdengar bodoh.

“Iya." ucap laki-laki itu sambil tersenyum lagi.

Ini gila. Tapi neuron di otakku memeritahkan jariku untuk menuliskan sesuatu di memo kecil, kemudian merobeknya.

“Ini. Kita bisa sharing tentang obgyn atau public helath.” Ucapku sambil menyerahkan memo kecil berisikan nomer handphoneku. Ini benar-benar gila. Sepertinya endorfin telah mengambil alih semua sistem pada otakku.

Laki-laki itu tersenyum kecil lalu menerima memo dariku. “Baiklah.”

Sepersejuta detik kemudain rasanya aku baru sadar apa yang baru saja aku lakukan. “Eh, aku ada kuliah sebentar lagi. duluan ya.” Ucapku buru-buru sambil meninggalkan laki-laki yang masih memandangi memo kecil di tangannya.

Jantungku berdegup kencang seolah impuls yang diterima berlebihan. Dengan nafas tersengal aku masuk ke kelasku dan duduk di bangku paling depan. “I have no idea what I am doing.” Ucapku pada diri sendiri.

Tiba-tiba saja suasana kelas yang berisik berubah menjadi tenang pertanda dosen sudah mulai memasuki kelas.
haemoglobin di dalam darahku seakan tidak mau lagi mengikat oksigen ketika aku melihat siapa dosen yang sekarang baru saja berdiri di hadapanku. Vena dan arteriku sepertinya tidak mau mengalirkan darahku sehingga seluruh tubuhku kaku seketika.

“Selamat siang. Saya dokter Bayu.” ucapnya kepada seluruh mahasiswa di ruangan. “Dosen mata kuliah Ilmu Kesehatan masyarakat kalian untuk hari ini.” dan tatapan terkahirnya tertuju kepadaku yang masih membeku.




6/14/12

Jingga di Ujung Senja


Risa memandang kagum Jembatan Ampera dari suatu rumah makan di sisi Sungai Musi saat ini. Ia sangat menyukai suasana sore hari di Sungai Musi, ketika air sungai mulai memantulkan warna jingga dari matahari yang hendak tenggelam dan juga dari kerlip lampu-lampu di sekitar jembatan yang sudah mulai dinyalakan.

“Aaaa...” Risa membuka mulunya agak lebar.

“Engga usah dilanjutin. Aku tahu kamu mau bilang ‘Sungai Musi mulai indah sekarang’ kan.” Sahut Dafa sambil mengunyah makan malamnya yang terlalu dini. “Itu yang selalu kamu ucapkan setiap kita makan disini.” Tambahnya.

“Salah.” Timpal Risa enteng. “Bukan itu yang ingin aku ucapkan tadi.”

“Oh, memangnya apa?”

“Rahasia. Kamu sok tahu sih tadi.”

“Huh, like I care.”

“I know you don’t care.” Sahut Risa enteng kemudian kembali memandang Jembatan Ampera yang berdiri kokoh.

“Jadi, apa yang mau kau katakan tadi? hal lebih indah dari Sungai Musi di sore hari?” Dafa masih penasaran.

"Ya, lebih indah dari Sungai Musi di sore hari." jawab Rosa bersemangat.

“Apa dong?”

Risa mencibirkan bibirnya. Kumudian mengambil selembar kertas dan pulpen dari tasnya. Lalu dengan serius menuliskan sesuatu pada kertas kecil itu.

“Ini yang lebih indah dari Sungai Musi di sore hari.” Risa menyerahkan kertas kecil yang ia lipat kepada Dafa.

“Eh,jangan dibuka dulu. Nanti aja dibukanya.” Tambahanya buru-buru saat Dafa hendak membuka lipatan kertas darinya.

“Kamu ini macem-macem aja.” Ujar Dafa kemudain menyelipkan kertas itu di saku jaketnya.

"Hehe." tawa Risa pelan. detik berikutnya ia memadangi wajah Dafa. Lama sekali.

"Kenapa?" ucap Dafa yang mulai sadara diperhatikan.

"Engga apa-apa. Aku pergi dulu ya.” Sahut Risa.

“Eh, mau kemana?” tanya Dafa. Tapi Risa hanya tersenyum dan tetap melongos pergi.

***

Dari Jembatan Ampera, Risa memandang lurus ke arah air sungai yang mengalir. Angin sore mengibaskan rambut panjangnya yang lurus. Air mata tampak keluar dari matanya yang kini memantulkan warna jingga dari air Sungai Musi.

Percakapanya dengan dokter seminggu yang lalu kemabli menggema di kepalanya :


‘Kanker otak... Stadium akhir... perkiraan hidup 3 bulan.’

Dengan kaki bergetar Risa melangkahi pagar pembatas di Jembatan Ampera.

“Apa bedanya sekarang dengan 3 bulan lagi?” ucapnya dalam hati. Kaki mungilnya perlahan bergerak seolah ia bisa melangkah di udara.

***

“Kemana dia?” batin Dafa.

Dingin, Dafa memasukkan tanganya ke saku jaket, lalu tangan kananya menyentuh selembar kertas.

“Apa yang ia fikirkan tadi?” ujarnya sambil membuka lipatan kertas pemberian Risa yang baru saja ia keluarkan dari saku jaketnya.

‘Hal yang lebih indah dari Sungai Musi di sore hari adalah : menikmati jingga di ujung senja bersamamu.’

“Anak itu..” ucap Dafa sambil menyinggungkan senyum di bibirnya.

Senyum yang hilang satu deik kemudain karena seorang ibu di dekatnya berteriak sangat keras ketika ia melihat seorang gadis melompat dari Jembatan Ampera.




6/12/12

Pagi Kuning Keemasan


Pulau kecil nan indah. Pasti itulah yang terlintas di benak para wisatawan yang berkunjung ke pulau Lengkuas, Belitung ini. Aku bisa melihat dari ekspresi bahagia mereka ketika mereka selesai menyelam, berenang, atau sekedar pergi ke puncak mercusuar untuk berfoto.

Tapi bagiku, pulau Lengkuas ini merupakan sumber penghasilan, terutama mercusuar yang berdiri kokoh ini. Sudah 4 bulan aku bekerja menjadi operator mercusuar. Bulan ini kebagian berjaga dengan seorang laki-laki paruh baya, namanya Hasan.

Kopi dan gorengan. Itulah yang aku dan Hasan andalkan untuk mengganjal perut kami dan juga begadang sampai fajar terbit.

“Apa jadinya kalau kita tidak ada.” Ujar Hasan ketika aku menyesap kopiku.

“Hmm?” timpalku bingung.

“Ya, kalau tidak ada yang mau yang mau jadi operator mercusuar seperti kita, sudah berapa kapal yang tenggelam gara-gara nabrak karang.” Ucapnya panjang lebar dengan logat khas belitung.

“Hahaha” tawaku mendengar ucuapan Hasan.

“Tapi Agil, kau masih muda. Carilah pekerjaan lain yang lebih pantas.”

Aku kembali menyesap kopiku sambil membenarkan perkataan Hasan dalam hati. “Kalau aku tidak bekerja sebagai operator lagi, siapa yang akan menemanimu di mercusuar tua ini?” candaku.

“Bah, kau kan tahu ada si Mahar. Dia bisa diandalkan.”

Obrolan kami terus berlanjut, hingga waktu tidak terasa dan fajar akan segera terbit. Inilah yang aku tunggu.

Aku menyipitkan mataku ketika melihat sebuah kapal dari puncak mercusuar.
“Itu pasti kapal yang ditumpangi si Mahar.” Ucap Hasan. Ya, setelah hari ini, tugasku untuk sebulan berjaga akhirnya selesai dan digantikan olehnya.

Aku kaget ketika bukan hanya Mahar yang turun dari kapal itu. Ada seorang perempuan mengikutinya dari belakang. Perempuan yang sangat aku kenal.

“Kenapa kau kesini?” ucapku kepada perempuan itu.

“Menjemputmu. Sekaligus membawakan sarapan.” Ujar perempuan sekaligus istriku itu dengan senyum yang sangat manis walau terengah karena harus naik sampai puncak murcusuar.

“Kau tidak usah repot-repot begini.” Ucapku sambil membuka rantang yang ia bawa. “kau bangun jam berapa untuk masak?”

“Ini setimpal. Tidak semua istri bisa menikmati matahari terbit bersama suaminya dari puncak mercusuar. Kau lihat? Bahkan kita bisa melihat seluruh pulau dari sini..”

Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku lalu melanjutkan kalimatnya. “Bahagia itu sederhana bukan?” ujarnya sambil menatap lurus pemandangan yang ada di depannya.

Ya, aku harus mencari pekerjaan yang lebih layak dari operator mercusuar. demi perempuan paling berharga dalam hidupku yang masih memandangi langit pagi yang berwarna kuning keemasan.




5/16/12

This Morning

Today, I'm lil bit upset to my mom.
so, I went from my house with a stright face.

but then I met with a girl and her pregnant mom in the public transport

they're holding each other hands..

it was just.. sweet...

and remind me to my my childhood

and suddenly, i miss my mom so much



5/13/12

On A Rainy Day

Tinggal beberapa menit lagi, kuliah akan selsai. Tapi fikiranku sudah lebih dahulu meningglkan ruangan ini. aku memandang lurus langit cerah lewat jendela kelasku. Baguslah, hari ini tidak hujan. Semoga saja.

Akhirnya kuliah selesai dan dosenku kembali memberikan tugas yang membuat tumpukan tugasku semakin tinggi. Sepertinya aku sudah mencapai titik jenuh pada kuliah semester ini. setiap hari harus kuliah dan ketika pulang langsung mengerjakan tugas. Rasanya aku tidak punya waktu untuk diriku sendiri.

Tapi tidak hari ini. hari ini sangat cerah dan aku memutuskan untuk pergi ke salah satu cafe untuk melupakan tugas-tugasku untuk beberapa jam.

Tenang sekali rasanya saat ini, duduk sendiri menikmati sundae-ku, jauh dari kampus dan segala kepenatanya. Aku sedang memasukan satu sendok es krim ke mulutku ketika seseorang berjalan ke pintu cafe melewati mejaku kemudian keluar.

Tiba-tiba saja saraf-saraf motorikku tidak bekerja. Entah karena sundae-ku yang terlalu dingin atau apa, tapi aku hanya diam membeku memandangi orang itu sampai ia keluar dari ambang pintu dan tidak terlihat lagi.
Saraf motorikku akhirnya kembali normal saat ponselku berdering. Sms dari kakak, batinku.

Disini hujan, mau dijemput?


Engga usah kak. Aku naik bus aja, sebentar lagi mau pulang kok. Ketikku dengan lincah kemudian menekan tombol kirim.

Aku kemudian keluar dan melihat langit yang saat ini sudah mulai tertutupi awan mendung.

Aku benci perubahan cuaca tiba-tiba.

Aku benci hujan.

Aku sibuk menggerutu dalam hati gerimis baru saja turun. langsung saja aku berlari-lari kecil ke halte bus yang tidak jauh dari posisiku saat ini. Ah, banyak sekali orang yang berteduh di halte. Terpaksan aku membuka jaketku dan menggunakanya sebagai payung.

Lama sekali, tapi bus belum juga datang dan hujan semakin deras. Jaketku sudah basah sekali sekarang.

Tiba-tiba seseorang berdiri tepat di sampingku, dan berbagi payungnya dengan aku. Aku hampir saja terkena serangn jantung ringan ketika menoleh untuk melihat siapa orang di sampingku. Orang ini, laki-laki yang tadi aku lihat di cafe.

“Eh, terima kasih.” Ucapku canggung sambil menurunkan jaketku.

“Sama-sama.” Ucapnya sambil tersenyum ramah. Senyum yang membuat pipiku menjadi merah. Sepertinya aku harus diimunisasi, agar kebal dan tidak lumer jika bertemu dengan senyum seperti ini lagi.

“Kenapa engga bawa payung?” ucapnya lagi.

“Engga apa-apa. Emang engga pernah bawa.” Ucapku jujur.

“Oh. Biasanya cewek selalu baya payung biarpun sedang musaim panas.”

Aku tertawa renyah mendengar ucapanmu. “Ada 3 alasan untuk menentang pernyataanmu.” Ucapku sambil membuka tiga jari tangan kananku. “Pertama, aku bukan tipe seperti itu. Keuda, payung bikin tasku jadi berat. Ketiga..” kalimatku terhenti

“Ketiga...?” tanya laki-laki itu penasaran.
Aku menghela napas kemudian merentangkan tangan kananku untuk menangkap butiran-butiran air hujan.

“Ketiga.. karena aku benci hujan.” Tiba-tiba saja suatu memori terlintas di kepalaku. Hujan selalu mengingatkan aku pada hari ketika ayahku pergi dari rumah. Hari ketika ayah dan ibuku bercerai dulu.

Selama beberapa detik aku menatap kosong awan yang terus saja mengeluarkan air hujan.

“Aku suka hujan kok.” Ucap laki-laki itu menyadarkan lamunannku. “Pertama, hujan itu sumber air. Kedua...” kalimatnya terhenti kemudain menoleh dan menatap mataku lekat. “Kedua, walau banyak sekali perpisahan ketika hujan, tapi tidak sedkit juga pertemuan ketika hujan... contohnya ya sekarang ini.” ucapnya.

“Jadi, jangan sedih.” tambahnya sambil tersenyum.

Aku mengangkat sebelah alisku. “Kau peramal ya?” tanyaku heran.

“Bukan." ucapnya. "Tapi mungkin aku punya bakat meramal.” Dia tertawa kecil.

Aku kemudian menatap hujan lagi. “Ya, hujan hari ini sepertinya tidak terlalu menyebalkan.” Kataku. Dan hujan turun semakin deras ketika ponselku berdering. Kakakku lagi.

Aku jemput naik mobil. Hujanya deras banget. Aku udah tunggu di seberang halte bus.

Detik berikutnya aku menyadari sedan silver milik kakakku ternyata sudah ada di seberang halte bus dari tadi.

“Eh, aku tidak jadi nunggu bus. Ada yang ngejemput.” Kataku sambil menunjuk ke seberang jalan. “Makasih tumpangan payungnya ya.” Ucapku lagi kepada laki-laki di sebelahku.

“Kamu mau nyeberang? Bawa aja payung ini.” ucap ida.

“Eh, engga usah.” Tolakku sedikit heran.

“Engga apa-apa, bawa aja. Aku engga lagi nunggu bus kok.”

“Hah?” ucapku semakin heran.

“Itu mobilku.” Ucap dia sambil menunjuk sebuah mobil yang dari tadi terparkir beberapa meter dari tempatku berdiri. “Payungnya buat kamu aja. Jangan males bawa payung lagi ya.”

Aku sempat berkata sesuatu ketika dia berlari ke arah mobilnya lalu masuk. Aku hanya memandangi mobilnya yang sekarang sudah bergerak.

Lagi-lagi hujan memberiku memori yang tidak akan terlupa. Hujan akan mengingatkanku pada laki-laki itu..

Who share his umbrella with meon a rainy day  like a friend


Who comfort me when I sad like a lover


But then just leave me like that like he’s nothing.



dini hari di 12 Mei 2012
untuk project Friends, lovers or Nothing


5/5/12

Semacam Rindu

aku tidak tahu
apakah aku mencintaimu atau tidak
yang jelas saat ini aku sangat merindukan kamu

aneh sekali,
ketika secuil kenangan dapat memupuk rindu sampai sebesar ini
ketika sepintas banyangmu dapat membuatku tersenyum sendiri

apakah aku jatuh cinta?

aku harap tidak.

tapi,
aku suka caramu memanggil namaku
aku suka caramu tertawa

yang aku tidak suka adalah..
caramu membuat aku merindukan kamu
juga caramu membuat jantungku berdegup kencang
ketika kita bertemu

kau tahu?
ketika bersamamu,
aku tahu makna dari kalimat "sepi di dalam keramaian"
yang aku rasakan adalah sepi

sepi

seperti blackberry-ku bila BBM-nya tidak diaktifkan (hehe)

ah, aku tidak tahu apakah aku mencintai kamu atau tidak
yang jelas aku sangat merindukanmu..
rindu..
rindu sekali



bandung,
Pagi hari di tanggal 5 Mei 2012 


gambarnya lebay tapi lucu :3 

2/6/12

Aku Ingin Bermimpi Seperti Anak Kecil

Untuk Project NBC Bandung Don't Give Up

Bila kamu punya mimpi,
Bermimpilah seperti anak kecil yang lugu,
yang selalu percaya kalau mimpinya akan menjadi kenyataan
Don’t give up

Bila kamu punya mimpi,
Bermimpilah seperti anak kecil yang lugu,
Walau mimpinya terasa sangat mustahil mejadi kenyataan
Namun ia percaya akan datangnya keajaiban
Don’t give up

Bila kamu punya mimpi,
Bermimpilah seperti anak kecil yang lugu
Yang dengan lantang menceritakan mimpinya kepada orang lain
Walaupun orang lain menertawakannya
Don’t give up

Aku ingin bermimpi seperti anak kecil

Jika kamu ingin mewujudkan mimpimu, beranilah !
Berusahalah mencari jalan meski berkali-kali menemukan jalan buntu, demi mimpimu
Berdoalah agar Tuhan berkenan menurunkan keajaiban-Nya kepadamu

Aku ingin bermimpi seperti anak kecil