6/14/12

Jingga di Ujung Senja


Risa memandang kagum Jembatan Ampera dari suatu rumah makan di sisi Sungai Musi saat ini. Ia sangat menyukai suasana sore hari di Sungai Musi, ketika air sungai mulai memantulkan warna jingga dari matahari yang hendak tenggelam dan juga dari kerlip lampu-lampu di sekitar jembatan yang sudah mulai dinyalakan.

“Aaaa...” Risa membuka mulunya agak lebar.

“Engga usah dilanjutin. Aku tahu kamu mau bilang ‘Sungai Musi mulai indah sekarang’ kan.” Sahut Dafa sambil mengunyah makan malamnya yang terlalu dini. “Itu yang selalu kamu ucapkan setiap kita makan disini.” Tambahnya.

“Salah.” Timpal Risa enteng. “Bukan itu yang ingin aku ucapkan tadi.”

“Oh, memangnya apa?”

“Rahasia. Kamu sok tahu sih tadi.”

“Huh, like I care.”

“I know you don’t care.” Sahut Risa enteng kemudian kembali memandang Jembatan Ampera yang berdiri kokoh.

“Jadi, apa yang mau kau katakan tadi? hal lebih indah dari Sungai Musi di sore hari?” Dafa masih penasaran.

"Ya, lebih indah dari Sungai Musi di sore hari." jawab Rosa bersemangat.

“Apa dong?”

Risa mencibirkan bibirnya. Kumudian mengambil selembar kertas dan pulpen dari tasnya. Lalu dengan serius menuliskan sesuatu pada kertas kecil itu.

“Ini yang lebih indah dari Sungai Musi di sore hari.” Risa menyerahkan kertas kecil yang ia lipat kepada Dafa.

“Eh,jangan dibuka dulu. Nanti aja dibukanya.” Tambahanya buru-buru saat Dafa hendak membuka lipatan kertas darinya.

“Kamu ini macem-macem aja.” Ujar Dafa kemudain menyelipkan kertas itu di saku jaketnya.

"Hehe." tawa Risa pelan. detik berikutnya ia memadangi wajah Dafa. Lama sekali.

"Kenapa?" ucap Dafa yang mulai sadara diperhatikan.

"Engga apa-apa. Aku pergi dulu ya.” Sahut Risa.

“Eh, mau kemana?” tanya Dafa. Tapi Risa hanya tersenyum dan tetap melongos pergi.

***

Dari Jembatan Ampera, Risa memandang lurus ke arah air sungai yang mengalir. Angin sore mengibaskan rambut panjangnya yang lurus. Air mata tampak keluar dari matanya yang kini memantulkan warna jingga dari air Sungai Musi.

Percakapanya dengan dokter seminggu yang lalu kemabli menggema di kepalanya :


‘Kanker otak... Stadium akhir... perkiraan hidup 3 bulan.’

Dengan kaki bergetar Risa melangkahi pagar pembatas di Jembatan Ampera.

“Apa bedanya sekarang dengan 3 bulan lagi?” ucapnya dalam hati. Kaki mungilnya perlahan bergerak seolah ia bisa melangkah di udara.

***

“Kemana dia?” batin Dafa.

Dingin, Dafa memasukkan tanganya ke saku jaket, lalu tangan kananya menyentuh selembar kertas.

“Apa yang ia fikirkan tadi?” ujarnya sambil membuka lipatan kertas pemberian Risa yang baru saja ia keluarkan dari saku jaketnya.

‘Hal yang lebih indah dari Sungai Musi di sore hari adalah : menikmati jingga di ujung senja bersamamu.’

“Anak itu..” ucap Dafa sambil menyinggungkan senyum di bibirnya.

Senyum yang hilang satu deik kemudain karena seorang ibu di dekatnya berteriak sangat keras ketika ia melihat seorang gadis melompat dari Jembatan Ampera.




6/12/12

Pagi Kuning Keemasan


Pulau kecil nan indah. Pasti itulah yang terlintas di benak para wisatawan yang berkunjung ke pulau Lengkuas, Belitung ini. Aku bisa melihat dari ekspresi bahagia mereka ketika mereka selesai menyelam, berenang, atau sekedar pergi ke puncak mercusuar untuk berfoto.

Tapi bagiku, pulau Lengkuas ini merupakan sumber penghasilan, terutama mercusuar yang berdiri kokoh ini. Sudah 4 bulan aku bekerja menjadi operator mercusuar. Bulan ini kebagian berjaga dengan seorang laki-laki paruh baya, namanya Hasan.

Kopi dan gorengan. Itulah yang aku dan Hasan andalkan untuk mengganjal perut kami dan juga begadang sampai fajar terbit.

“Apa jadinya kalau kita tidak ada.” Ujar Hasan ketika aku menyesap kopiku.

“Hmm?” timpalku bingung.

“Ya, kalau tidak ada yang mau yang mau jadi operator mercusuar seperti kita, sudah berapa kapal yang tenggelam gara-gara nabrak karang.” Ucapnya panjang lebar dengan logat khas belitung.

“Hahaha” tawaku mendengar ucuapan Hasan.

“Tapi Agil, kau masih muda. Carilah pekerjaan lain yang lebih pantas.”

Aku kembali menyesap kopiku sambil membenarkan perkataan Hasan dalam hati. “Kalau aku tidak bekerja sebagai operator lagi, siapa yang akan menemanimu di mercusuar tua ini?” candaku.

“Bah, kau kan tahu ada si Mahar. Dia bisa diandalkan.”

Obrolan kami terus berlanjut, hingga waktu tidak terasa dan fajar akan segera terbit. Inilah yang aku tunggu.

Aku menyipitkan mataku ketika melihat sebuah kapal dari puncak mercusuar.
“Itu pasti kapal yang ditumpangi si Mahar.” Ucap Hasan. Ya, setelah hari ini, tugasku untuk sebulan berjaga akhirnya selesai dan digantikan olehnya.

Aku kaget ketika bukan hanya Mahar yang turun dari kapal itu. Ada seorang perempuan mengikutinya dari belakang. Perempuan yang sangat aku kenal.

“Kenapa kau kesini?” ucapku kepada perempuan itu.

“Menjemputmu. Sekaligus membawakan sarapan.” Ujar perempuan sekaligus istriku itu dengan senyum yang sangat manis walau terengah karena harus naik sampai puncak murcusuar.

“Kau tidak usah repot-repot begini.” Ucapku sambil membuka rantang yang ia bawa. “kau bangun jam berapa untuk masak?”

“Ini setimpal. Tidak semua istri bisa menikmati matahari terbit bersama suaminya dari puncak mercusuar. Kau lihat? Bahkan kita bisa melihat seluruh pulau dari sini..”

Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku lalu melanjutkan kalimatnya. “Bahagia itu sederhana bukan?” ujarnya sambil menatap lurus pemandangan yang ada di depannya.

Ya, aku harus mencari pekerjaan yang lebih layak dari operator mercusuar. demi perempuan paling berharga dalam hidupku yang masih memandangi langit pagi yang berwarna kuning keemasan.